Kejadian salah naik kereta ini membuatku tertawa terbahak-bahak. (baca dulu blog Perjalanan Cicalengka yang pertama) Perasaanku jadi campur aduk, antara takut dan beruntung karena tadi
tidak terbawa sampai ke Padalarang tapi juga ingin tertawa soalnya ngakak bisa
sampai salah kereta. Ternyata kesalahan
kelompokku terletak pada saat kami baca tiket.
Ditiket dituliskan kami harus menaiki kereta yang nantinya akan berada
di jalur 2 sedangkan kereta yang kami naiki tadi (yang salah) berada di jalur
3.
Setelah
turun dari kereta dan dinasehati kakak, kereta dengan jurusan Kiara
Condong-Cicalengka datang. Kami dijaga
oleh beberapa petugas di stasiun agar tidak terlalu dekat dengan rel kereta,
karena bisa tertabrak. Walaupun kami
sudah berdiri jauh dari rel kereta, angin yang berhembus masih terasa sangat
kencang bahkan hampir menerbangkan tiket yang aku bawa. Setelah kereta berhenti sempurna, aku beserta
teman sekelompokku segera naik kereta tersebut.
(Kali ini tidak salah kereta lagi kok..) 😊
Didalam
kereta, aku dan teman sekelompokku sempat kesulitan mencari tempat duduk karena
hampir semua tempat duduk penuh. Kakak
sempat memberitahu kami, bahwa di perjalanan ketiga ini, setiap kelompok harus
duduk di gerbong yang berbeda. Maka dari
itu kami, antar kelompok tidak ada yang berkomunikasi selama di kereta. Jujur pada saat di kereta aku panik karena
aku takut tidak sempat turun di stasiun yang dituju. Kami melewati 4 stasiun
sebelum sampai di Cicalengka, yaitu lewat Kiara Condong, Cimekar, Rancaekek,
Haur Pugur dan terakhir berenti di CIcalengka.
Kondisi setiap stasiun
berbeda-beda, ada yang kecil sekali dan ada yang besar. Kebersihan di setiap stasiun juga
berbeda-beda, ada yang bersih dan ada yang kotor. Selama di perjalanan, di kanan dan kiri
banyak sawah dan banyak rumah penduduk.
Terkadang ada pakaian yang dijemur oleh para penduduk di atap
rumahnya.
Didalam
kereta, kami diberikan tantangan oleh kakak.
Tantangan tersebut adalah kami harus mengobrol dengan 1-2 penumpang
kereta dan harus mengamati kondisi di setiap stasiun yang dilewati. Di dalam kereta aku mengobrol dengan salah
satu penumpang, ia bernama Pak Cece. Pak
Cece ini duduk di belakang kursiku.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk bisa dekat dengan Pak Cece. Ternyata beliau juga ramah dan tidak asa-asa
saat mengobrol denganku, sehingga terjadi timbal balik antara aku dan Pak
Cece. Pak Cece ini rumahnya di
Cicalengka dan dia baru pulang dari Bandung karena menengok kakaknya yang
tinggal di Bandung. Sehari-harinya ia berkegiatan
di Cicalengka dan bekerja disana. Saat
kereta sudah mau sampai di stasiun yang kami tuju, aku berpamitan dengan Pak
Cece untuk bersiap-siap turun. Dari
wawancara ini aku jadi sadar, bahwa tidak semua orang baru menyeramkan dan berbahaya, masih ada banyak orang yang
baik diluar sana. Selama di dalam
kereta, aku juga mengambil foto dan mencatat hasil wawancara teman
sekelompokku, yaitu Chaca dan Bimo.
Kereta
pun sampai di Cicalengka! Petualangan kami di Cicalengka dimulai disini. Setelah semua keluar dari kereta, kami diajak
berkumpul oleh kakak di salah satu titik di stasiun Cicalengka. Setelah kami berkumpul, kakak mengajak kami
berjalan bersama ke Masjid Agung Cicalengka.
Sesampainya di Masjid Agung Cicalengka kami diperbolehkan istirahat oleh
kakak. Perjalanan dari Stasiun
Cicalengka ke Masjid tidak memakan waktu yang lama, walaupun jarak antara
stasiun dan masjid lumayan jauh. Di
masjid, ketua kelompok dipanggil kakak, karena kakak akan memberikan tugas yang
baru. Ketua kelompok dari kelompokku
adalah Chaca. Selama ketua kelompok bersama
kakak, aku mengambil beberapa foto dan mencatat beberapa hal, seperti kondisi
masjid diwaktu itu.
Setelah
ketua kelompok kembali, mereka membriefing kelompoknya masing-masing. Ternyata ada beberapa tempat yang kami
kunjungi, kalau dihitung ada 12 tempat yang harus kami datangi. Selain harus mengunjungi tempat-tempat
tersebut, kita juga harus membuat peta daerah itu. Aku dan kelompokku pun berdiskusi, akan mulai
dari mana kami menjelajah daerah Cicalengka ini. Setelah tahu mau mulai menjelajah dari mana,
aku dan kelompok lapor ke kakak kemudian berangkat.
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Pasar
Siupi, salah satu pasar yang ada di Cicalengka.
Sesampainya di pasar aku langsung mencari pedagang yang kelihatannya
sedang tidak sibuk. Pedagang yang aku
ajak wawancara kemarin adalah Bu Oni.
Beliau merupakan seorang pedagang rempah dan sayur. Bu Oni ini tinggal di Cicalengka dan
sehari-harinya berdagang disini, barang dagangannya juga bukan ia beli sendiri,
melainkan ada orang-orang yang menitipkan barang dagangan padanya. Pendapatannya setiap bulan adalah
Rp.500.000,- dan cukup untuk menghidupi ia dan keluarganya sehari-hari. Pada saat mewawancara Bu Oni, kami sekelompok
mewawancaranya secara bergerombol,sampai akhirnya aku menyuruh Chaca dan Bimo
agar berpencar, tidak mengerumuni 1 pedagang sekaligus, karena biasanya kalau
kita mewawancaranya secara bergerombol, narasumber akan merasa diintrogasi dan
jadi tidak berani mengeluarkan pendapatnya.
Sebelum
kami berpisah di pasar, kami berdiskusi dulu, untuk menentukan dimana check
point kami dan pada mau mewawancara ke
arah mana. Setelah semua setuju,
kami pun berpisah. Aku mewawancara tidak jauh dari tempat Bu Oni berdagang. Aku bertemu dengan Pak Aim, salah satu
pedagang perabot rumah tangga. Pak Aim
sudah berjualan di pasar ini selama 6 bulan, barang yang ia jual juga merupakan
barang-barang dari Bandung. Sebelum ia
membuka lapak disini, dia harus pergi ke Bandung dulu kemudian membeli perabot
rumah tangga disana, seperti piring, sapu, botol, centong, sikat dan
mangkok. Yang membeli barang dagangannya
biasanya adalah ibu-ibu rumah tangga dan yang paling laku dibeli adalah piring. Dari Pak Aim juga aku jadi tahu, bahwa Pasar
Siupi ini baru dibangun satu tahun yang lalu, yaitu pada tahun 2017.
Setelah
selesai mewawancara Pak Aim aku pun berpamitan dan meninggalkan lapaknya. Tak jauh dari tempatku wawancara aku melihat
Chaca sedang mewawancara seorang pedagang bubur kacang, sedangkan Bimo sedang
asik memotret. Aku segera menghampiri
Bimo kemudian mulai memotret juga.
Ternyata dari tadi Bimo hanya memotret tidak mewawancara pedagang
lainnya. Aku dan Bimo pun menunggu Chaca
selesai wawancara, karena setelah dari pasar, kami akan langsung pergi menuju
ke salah satu sekolah yang ada di Cicalengka.
Setelah Chaca selesai wawancara, ia tiba-tiba menawari aku dan Bimo
untuk makan terlebih dahulu “Eh itu bubur kacangnya kayaknya enak deh murah
juga cuman 5000 beli yuk laper nih aku belum sarapan”ujar Chaca semangat. “Isinya apa?”aku bertanya dengan
spontan. “Ya bubur-bubur kacang gitu
lahh masa kamu gak tahu”Bimo menimpali.
Akhirnya karena aku juga kasian Chaca belum sarapan, aku dan kelompokku
singgah dulu di tukang bubur tersebut.
Ibu
penjual bubur kacang itu sangat ramah.
Beliau bernama Ibu Eti. Ia
melayani kami dengan baik. Tempatnya
berjualan juga bersih tidak dipenuhi lalat.
Selama melayani, ibu itu banyak bertanya kepada kami, seperti “dari mana
dek?” atau “ini the pada mau kemana bawa tas meni gede-gede”. Ternyata logat berbicara orang Cicalengka
dengan orang Bandung tidak berbeda jauh, bahkan banyak yang mirip. Sekitar 3 menit kami menunggu akhirnya
pesanan kami datang. Kami hanya membeli
1 mangkuk bubur kacang untuk dimakan bertiga.
Bubur kacang itu merupakan campuran dari berbagai jenis kacang. Dalam satu mangkuk bubur kacang, terdapat
kacang hijau, ketan hitam, santan dan campuran lainnya. Porsinya juga besar, sehingga untuk dimakan
bertiga sangat pas. Rasa yang paling
menonjol dari makanan ini adalah manis.
Walaupun tidak ditambahkan banyak gula, namun dengan adanya kacang hijau
dan ketan hitam, bisa menambahkan cita rasa manisnya. Sambil makan, kami juga mengobrol dengan ibu
Eti.
Kami
pun selesai makan. Perut kami sudah
terisi dan kami pun siap bertualang kembali. To be continued...
No comments:
Post a Comment